DOKTRIN KEDAULATAN ALLAH DAN
Signifikansinya Terhadap Pendidikan Kristen
Allah orang Kristen adalah Allah yang berbeda dengan berbagai macam konsep tentang “Allah” yang dimiliki dan diajarkan oleh orang-orang yang non-Kristen. Ini bukan sekadar mengenai perbedaan konsep tetapi juga berdampak kepada implikasinya, termasuk ke dalam hal pendidikan. Kalau kita melihat di seluruh khasanah ke Kristenan dengan berbagai macam arus pemikiran theologia, tidak ada satu arus theologia pun yang mampu memiliki kekonsistenan dan kesistematisan presuposisi dalam menggarap keKristenan secara khusus di dalam dunia pendidikan Kristen yang berkaitan dengan doktrin Allah, kecuali hanya theologia Reformed. Theologia Reformed memiliki keunikan paradigma tersendiri dalam membangun presuposisi theologianya yaitu apa yang dikenal sebagai kedaulatan Allah (the sovereignty of God). Jika Allah bukan Allah yang Berdaulat, maka itu bukan Allah, tetapi dewa-dewi yang sendiri tidak hidup dan tidak kekal. Konsep tentang Allah yang berdaulat dapat saya bagi menjadi
Pertama, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang berada pada diri dan mutlak pada diri. Di luar diri Allah Trinitas yang berdaulat, mutlak tidak ada yang lain yang patut disamakan dengan-Nya dan bahkan Allah pun tidak mengenal ilah lain di luar diri-Nya yang mutlak (Yesaya 44:6-8). Jika demikian, berarti, Allah yang berdaulat adalah Allah yang berada pada diri (self-exist) dan cukup pada diri (self-sufficient), sehingga Ia tak perlu bergantung pada yang lain. Seorang apologet Reformed, Dr. Cornelius Van Til dalam bukunya The Defense of The Faith mengajarkan, “God’s sovereignty refers to the fact that there is no other ultimate power beside himself and that his holy plan for the world will prevail over all position against it.” (Van Til, The Defense of The Faith, halaman 11). Di sini, Dr. Van Til berusaha menggabungkan bahwa kedaulatan Allah itu sebagai suatu fakta, bukan sebuah konsep yang beride utopia. Apa bedanya ? Ketika kedaulatan Allah di mana Allah saja yang mutlak berdaulat hanya berada di tataran ide utopia, maka kita pasti lama-kelamaan akan melupakannya (take it for granted), karena itu hanya ide kosong manusia yang segera berakhir. Tetapi tidak demikian, Dr. Van Til mengatakan bahwa kedaulatan Allah itu sebagai suatu fakta, di mana mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, dengan kerendahan hati, manusia harus mengakui sebuah fakta bahwa Allah itu ada dan Dia berdaulat adanya. Ketika manusia enggan mengakui fakta ini, dengan sendirinya, mereka enggan mengakui keberadaan Allah dan otomatis mereka menjadi seorang atheis. Selain sebagai sebuah fakta, kedaulatan Allah menurut Dr. Van Til adalah Allah yang memiliki rencana yang kudus (His holy plan) bagi dunia ini yang tersebar luas. Di sini, Van Til menggabungkan dua prinsip yaitu Allah yang berdaulat adalah Allah yang berencana dan rencana-Nya adalah rencana yang kudus. Apa signifikansinya ? Kalau Allah yang berdaulat adalah Allah yang berencana dan rencana-Nya itu kudus berarti tak mungkin Allah itu bisa salah dan dapat mengubah rencana-Nya karena alasan apapun. Itulah sebabnya mengapa theologia Reformed/Calvinisme menolak ide dari “theologia” Arminian (Arminianisme) yang sebagian besar dianut oleh theologia Injili yang mengajarkan bahwa Allah memilih manusia setelah Ia mengetahui bahwa manusia tertentu akan mempercayai-Nya. Di sini, kelemahan fatal Arminianisme adalah Allah itu tidak berdaulat dan sepenuhnya bergantung pada belas kasihan manusia untuk mempercayai-Nya. Kalau konsep Allah ini benar, apa bedanya keKristenan dengan konsep Allah dalam agama-agama lain yang menunggu dibela oleh manusia (ingat peristiwa sekelompok partai agama tertentu di
Kedua, Allah yang Berdaulat adalah Sumber segala sesuatu. Ini berarti Allah yang Berdaulat bukan hanya hanya Dia saja yang berdaulat, tetapi Allah juga sekaligus sebagai Sumber segala sesuatu. Ketika kita berbicara mengenai Sumber, kita berbicara mengenai pusat. Seperti air yang mengalir pasti ada sumbernya dan ketika sumbernya itu mampet, maka air tidak dapat mengalir. Begitu pula halnya dengan Allah yang adalah Sumber segala sesuatu, di mana segala sesuatu harus bergantung kepada-Nya, karena dari Dia sajalah terdapat sumber hidup sejati. Ketika Allah menghembuskan nafas ke dalam hidung manusia, di situ kedaulatan Allah dinyatakan. Artinya, tanpa Allah yang berdaulat dan sebagai sumber nafas dan hidup, maka mustahil manusia bisa bernafas dan hidup. Selain sebagai sumber hidup, Allah juga adalah Sumber Kekudusan, karena Ia itu Mahakudus yang memanggil kita (umat pilihan Allah) yang berdosa untuk hidup kudus (1 Petrus
Ketiga, kedaulatan Allah berarti Allah itu Penentu segala sesuatu. Karena Allah yang berdaulat adalah Allah yang satu-satunya mutlak berdaulat dan sumber segala sesuatu, maka hanya Allah sajalah Penentu segala sesuatu. Di sini, kita melihat konsep sejarah dan dunia dapat dengan jelas diinterpretasikan dengan tepat melalui kacamata theologia Reformed. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajarkan bahwa sejarah itu His-story atau cerita/kisah-Nya, di mana sejarah tidak pernah terlepas dari Allah dan kisah-Nya yang Ia telah tentukan. Sejarah harus berkait dengan Allah, tetapi ini tidak berarti seperti yang diajarkan oleh seorang “pendeta” penganut “theologia” religionum dari gereja Presbyterian di Taiwan, Choan Seng Song yang mengidentikkan sejarah dengan penyataan Allah. Sejarah tidak sama dengan penyataan Allah, karena menurut Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang di dalam bukunya Teologi Abu-abu (Pluralisme Agama), di dalam sejarah itu ada yang mengandung hal-hal yang jahat dari iblis, sehingga adalah tidak mungkin jika mengaitkan hal-hal yang dari iblis dengan penyataan Allah yang kudus. Konsep sejarah yang berkaitan dengan Allah (di mana Allah berada di atas sejarah atau memimpin sejarah menurut pernyataan Pdt. Dr. Stevri Indra Lumintang dalam bukunya) mengakibatkan kita dapat melihat perkembangan sejarah, bukan dari kacamata dunia psikologi apalagi ahli nujum, tetapi dari kacamata/sudut pandang kedaulatan Allah. Itulah sebabnya mengapa theologia Reformed dapat dikatakan theology from above, karena theologia Reformed melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah sebagai Penentu segala sesuatu. Di dalam dunia pendidikan Kristen pun, konsep ini dapat diintegrasikan ketika para dosen/guru Kristen yang sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus mengajarkan konsep iman Kristen yang berbasiskan kedaulatan Allah, seperti Allah sebagai Pencipta, Penebus dan Penyempurna, lalu mereka diajarkan bagaimana kita dapat menebus waktu (redeeming the time) dan segala sesuatu yang berdosa untuk dipakai bagi kemuliaan-Nya, sebelum mereka memulai setiap pelajaran agar para anak kovenan-Nya mampu melihat segala ilmu pengetahuan yang berkembang dari kacamata firman Allah yang paling konsisten dan mutlak. Akibatnya, mereka dapat memilah-milah dengan sendirinya manakah ilmu pengetahuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab (untuk mereka pelajari dan taati) dan mana yang melawan Alkitab (untuk tetap mereka pelajari kelemahannya dan mereka buang) dengan tetap mengaitkan semua ilmu pengetahuan dengan Allah sebagai Pusat. Jika konsep ini ditiadakan dari pendidikan Kristen, maka seperti yang banyak kita perhatikan di zaman postmodern ini, banyak anak didik yang sebenarnya atheis murni tetapi tetap diselimuti jubah “Kristen” di dalam KTP mereka adalah mereka yang paling banyak berkompromi dengan semua arus dunia yang bahkan melawan Alkitab, misalnya, ikut-ikutan terlibat MLM (Multi Level Marketing), mau mengikuti acara seminar-seminar pengembangan diri dari para motivator (seperti Andrie Wongso yang adalah penganut Budhisme dengan filsafat Budhismenya yang dimasukkan ke dalam idenya “Success is My Right”), belajar psikologi untuk dapat mengetahui kepribadian orang lain yang sama-sama berdosa, dll.
Keempat, kedaulatan Allah berarti Allah itu Pemelihara segala sesuatu. Di dalam theologia Reformed, kita mengenal istilah providence of God, di mana Allah itu adalah Allah yang memelihara. Di sini, kita menentang konsep Deisme yang mengajarkan bahwa setelah mencipta, Allah tidak berhubungan dengan dunia ciptaan. Konsep pemeliharaan Allah ini mengajarkan beberapa hal. Pertama, berkaitan dengan hidup kita. Allah adalah Allah yang memelihara hidup kita sehingga kita tidak perlu kuatir akan hidup kita (Matius
Kelima, Allah yang Berdaulat adalah Allah yang transenden dan sekaligus imanen (Immanuel). Ini adalah kesimpulan akhir dari konsep kita akan kedaulatan Allah yaitu Allah adalah Allah yang transenden dan sekaligus imanen. Allah yang transenden berbicara mengenai keMahakuasaan, keMahaadilan, keMahakudusan, kekekalan, kesempurnaan diri Allah yang tak mungkin disetarakan dengan makhluk ciptaan atau yang lain. Di sini, kita berbicara mengenai pribadi Allah yang melampaui ruang dan waktu. Dr. Van Til mengemukakan bahwa Allah yang kekal (infinity of God) yang termasuk atribut ketiga dari atribut-atribut Allah yang tidak dikomunikasikan kepada manusia adalah Allah yang tidak memiliki awal dan akhir atau urutan momen dalam keberadaan Allah (“By the term eternity we mean that there is no beginning or end or succession of moments in God’s being or consciousness (Psalm 90:2 ; 2 Pet. 3:8)”) (Van Til, The Defense of The Faith, halaman 10). Ketika berbicara kekekalan Allah dalam segi waktu, Van Til mengatakan bahwa Allah itu tidak memiliki awal dan akhir. Dengan kata lain, Allah yang kekal dalam segi waktu adalah Allah yang melampaui konsep waktu manusia yang terbatas (bedakan antara limited time versi manusia dengan unlimited time versi Tuhan Allah). Ketika kita dapat membedakan kedua hal ini, kita dapat mengerti mengapa Allah memerintahkan kita untuk memberitakan Injil meskipun Allah telah memilih sekelompok orang untuk diselamatkan di dalam Kristus. Kedua, ketika kita berbicara mengenai kekekalan Allah dalam segi tempat/ruang, menurut Van Til, “God is neither included in space nor absent from it.” (Van Til, The Defense of The Faith, halaman 10). Allah yang jauh melampaui ruang di mana manusia hidup, Ia juga tidak termasuk ke dalam ruang yang terbatas dan tidak pernah absen darinya. Selain kekekalan Allah yang melampaui ruang dan waktu, ketika berbicara mengenai ketransendenan Allah, kita juga berbicara mengenai keMahakudusan Allah. Allah yang Mahakudus tidak menginginkan manusia ciptaan-Nya hidup tidak kudus, oleh karena itu, Allah memilih dan memanggil anak-anak-Nya supaya mereka hidup kudus dan tak bercatat di hadapan-Nya (Efesus 1:4). Kemudian, ketransendenan Allah juga berbicara mengenai keMahaadilan Allah, di mana Ia berdaulat penuh sebagai Allah untuk menghukum barangsiapa yang melawan perintah-Nya. Di dalam keadilan-Nya, Allah juga adalah Allah yang Mahakasih. Di sini, kita dapat melihat suatu integrasi antara kedua natur Allah ini di dalam Yohanes 3:16-19, di mana pada ayat 16-18a boleh dikatakan sebagai wujud kasih Allah dengan mengutus Kristus untuk menebus dosa manusia pilihan-Nya dan barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak dihukum, sedangkan di ayat 18b-19 boleh dikatakan sebagai wujud keadilan Allah yang menghukum barangsiapa yang tidak percaya kepada Kristus. Allah kita bukan hanya transenden saja, seperti yang Deisme percayai. Tetapi Allah kita juga adalah Allah yang imanen, yang memelihara ciptaan-ciptaan-Nya. Di sini, kita membicarakan Allah yang kekal sedang intervensi di dalam dunia kesementaraan. Itulah Tuhan Yesus Kristus (Yohanes 1:1) yang menggenapi Taurat dan kitab-kitab Perjanjian Lama. Kristus adalah Firman Allah yang adalah Allah sendiri menjelma menjadi manusia dan Ia rela membatas diri demi menebus dosa-dosa manusia. Allah yang imanen adalah Allah yang hadir di dalam dunia kesementaraan dan mempedulikan kita sebagai anak-anak-Nya. Inilah wujud kasih Allah. Puji Tuhan, Allah kita transenden dan sekaligus imanen, berbeda dengan konsep Deisme yang menekankan ketransendenan Allah dan membuang keimanenan Allah, dan konsep Pantheisme yang menekankan imanensi Allah (everything is god) dan membuang ketransendenan Allah. KeKristenan yang berdasarkan Alkitab harus menyeimbangkan kedua konsep ini. Tetapi sayangnya keKristenan dari sejarah gereja sampai dengan zaman postmodern terjebak ke dalam dua arus ekstrim. Ekstrim pertama menekankan bahwa Allah itu Mahaadil, Mahakudus, dan aspek ketransendenan-Nya lainnya. Itulah gereja Katolik Roma di abad 15 dan 16, di mana Dr. Martin Luther hidup dan memprotes keras ajaran-ajaran Katolik Roma. Ekstrim lainnya menekankan bahwa Allah itu begitu dekat, sehingga kita bisa berkomunikasi dengan-Nya. Inilah yang terjadi di beberapa kalangan gereja kontemporer yang terpengaruh gerakan Karismatik/Pentakosta yang diimport dari Gerakan Zaman Baru dan Pantheisme modern. Kelemahan ekstrim pertama, mereka membuang konsep bahwa Allah itu adalah Allah yang memelihara ciptaan-Nya dan dekat dengan manusia. Sedangkan, kelemahan ekstrim kedua adalah mereka menganggap Allah itu sahabat manusia dan melupakan bahwa Allah itu tetap adalah Tuhan yang patut dihormati dan disembah serta dipuji. KeKristenan yang benar mempercayai Allah itu adalah Allah yang Mahakudus, Mahakasih, Mahaadil, Kekal, Sempurna, Berdaulat (ketransendenan Allah), sekaligus sebagai Allah yang beserta dan dekat dengan kita (Immanuel/imanensi Allah). Di dalam dunia pendidikan Kristen, kita harus mengerti konsep ini dengan benar. Di mana ketika kita mengetahui bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang transenden sekaligus imanen itu membuat kita semakin gentar kepada-Nya sebagai Tuhan sekaligus Raja dan sekaligus kita semakin ingin bergaul karib dengan-Nya. Di sini, saya mengaitkan konsep pendidikan Kristen dengan konsep kehidupan Kristen di kemudian hari sebagaimana yang secara implisit diajarkan oleh Dr. Cornelius Van Til dalam artikelnya, “Iman : Iman dan Program Kita” di dalam buku Dasar Pendidikan Kristen.. Pendidikan Kristen tidak bisa dilepaskan dari kehidupan Kristen, karena pendidikan itu salah satu unsur penting di dalam kehidupan. Ketika pendidikan yang diterapkan kepada anak-anak adalah pendidikan yang salah, maka secara otomatis, kehidupan mereka akan berakhir sia-sia (meskipun ada beberapa dari antara mereka yang salah didik dapat bertobat dan kembali kepada Kristus dan Alkitab akibat pencerahan Roh Kudus). Demikian pula, ketika kita mengerti ketransendenan dan imanensi Allah, maka kita pun dapat mengerti diri Allah sesungguhnya dan kedekatan Allah dengan anak-anak-Nya. Konsep ketransendenan Allah mengakibatkan kita dengan rela hati mau tunduk dan mengakui-Nya sebagai Tuhan dan Raja yang memimpin seluruh konsep pendidikan Kristen dan berdampak kepada kehidupan Kristen. Akibatnya, sebagaimana Amsal 3:6 katakan, maka janji Allah kepada mereka yang mengakui-Nya adalah Ia akan meluruskan jalannya (atau terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari, “maka Ia akan menunjukkan kepadamu cara hidup yang baik.”). Di sini, Alkitab ingin mengajarkan bahwa ketika kita mengakui-Nya sebagai Tuhan sebagai Kebenaran Absolut yang tak mungkin bersalah, maka Kebenaran yang Absolut itu akan memimpin kita yang relatif ke dalam jalan-jalan-Nya. Sebagai tambahan, kata “cara hidup” atau “hidup” baik di dalam Amsal 3:5, 6 diletakkan di dalam kitab Amsal yang mengajarkan tentang konsep hikmat bijaksana, maka dapat disimpulkan bahwa hikmat bijaksana atau pendidikan sejati yang berbijaksana berkaitan erat dengan kehidupan dan cara hidup. Konsep imanensi Allah dimengerti sebagai suatu respon anak-anak kovenan-Nya untuk mau bergaul karib dengan-Nya melalui membaca Alkitab, berdoa, dll agar mereka mengetahui kehendak-Nya di dalam hidup mereka sehingga mereka dapat mengerti konsep pengetahuan sejati (dengan berani menghakimi semua pengetahuan yang salah dengan dasar Alkitab yang jelas dan bertanggungjawab) dan akhirnya dapat memuliakan Allah melalui pengetahuan sejati yang mereka peroleh. Jika pendidikan Kristen meniadakan konsep ini, maka dapat dipastikan, anak-anak didik “Kristen” meskipun disekolahkan di sekolah “Kristen” (banyak yang tidak beriman Kristen) karena diajar oleh para pendidik “Kristen” (yang kebanyakan sudah menjadi atheis) akan memiliki pola pikir yang humanis materialis ditambah semangat egoisme yang tinggi yang anti-Allah dan Alkitab. Akibatnya, mereka bukan menjadi anak-anak yang bertanggungjawab dan bersumbangsih bagi Tuhan, gereja, masyarakat, bangsa dan negara, tetapi sebagai anak-anak yang merusak masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar