Kamis, 13 Agustus 2009

QUO VADIS "SETIA"?

QUO VADIS “SETIA”?

(Nats Renungan: Fil.3: 10-14)

Sudah setahun lebih sejak Juli 2008, SETIA berada di tempat pengungsian. Pengungsi SETIA dibagi dalam tiga lokasi, yakni di Buperta Cibubur, Wisma Transito Kalimalang dan Eks Ktr. Walikota Jakarta Barat. Tinggal di barak-barak atau di tenda-tenda tentu bukan idaman, sekalipun kata orang sangat Alkitabiah. Itu bukan kemauan SETIA. Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana atau mau kemana selanjutnya? Akan tetapi belum ada jawaban pasti. Renungan kali ini diberi judul Quo Vadis “SETIA”. Quo vadis, adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara harafiah adalah; "Kemana engkau pergi?" Kalimat ini adalah terjemahan Latin dari petikan dari kitab Perjanjian Baru, Injil Yohanes 16:5; "tetapi sekarang Aku pergi kepada Dia yang telah mengutus Aku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya kepada-Ku: Ke mana Engkau pergi?"

Sejak dahulu, kalimat ini seringkali dipergunakan. Salah satu contoh yang sangat terkenal ialah judul buku dalam bahasa Indonesia: Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, karangan Kacung Marijan (Jakarta:Erlangga) pada tahun 1992. Quo Vadis, juga merupakan judul sebuah film mengenai Nero, Kaisar Romawi, berdasarkan sebuah buku yang dikarang oleh Henryk Sienkiewicz, seorang Novelis Polandia di tahun 1896. Film ini diedarkan tahun 1951 dan merupakan box office yang memenangkan Golden Globe Awards. Sekarang dalam rangka memperingati HUT Republik Indonesia, warga Indonesia juga bisa bertanya, Qua Vadis Indonesia? Indonesia sudah merdeka 64 tahun, akan tetapi hingga saat ini kemerdekaan belum dirasakan oleh semua komponen bangsa. Teroris bebas berkeliaran, penutupan gereja tetap berlangsung, dan secara khusus lagi Mahasiswa SETIA terusir dari rumah sendiri di negeri sendiri. Ironis memang. Lalu mau ke mana? Inikah Indonesia merdeka?

Dalam konteks nats renungan Filipi 3: 10-14, dapat diketahui bahwa Paulus sementara dalam penahanan di penjara karena memberitakan Injil. Namun tembok penderitaan, tidaklah membuat dia terkurung ataupun terpasung. Paulus tahu persis bahwa Injil tidak pernah bisa terbelenggu, malahan Injillah yang bisa membelenggu dirinya dan sekaligus memerdekakan dirinya sehingga dia tahu dia sedang menuju ke mana.

Paulus sejak bertobat (Kis.9) hingga masa tua tetap bersemangat dalam pelayanan.

Apa yang mendasari Paulus sehingga tetap bersemangat (berapi-api) dalam pelayanan?

1. Relasi yang intim dengan Tuhan

Jika kita membaca prikop Fil.3:1-7, kita mengetahui secara jelas bahwa Paulus bukanlah orang sembarangan. Dia seorang yang patut dibanggakan bahkan sebelum dia mengenal Yesus Kristus. Dari keluarga terhormat, orang pintar atau seorang ahli dan lain-lain. Tetapi dia berkata: semua itu kuanggap sampah karena pengenalan akan Kristus lebih mulia dari segalanya. Di sini kita melihat, pembaruan yang dialami oleh Paulus. Skala prioritas penting ada, dan bagi Paulus, prioritas utama adalah pengenalan akan Tuhan. Ketika surat ini di tulis, Paulus sementara berada dipenjara, dia diperkirakan berusia 60 -an tahun. Jadi sekitar 30 tahun dia sudah melayani. Tetapi diayat ke 10, apa yang dikehendaki Paulus? Dia berkata, “Yang kukehendaki ialah, mengenal Dia (Yesus)”. Atau yang menjadi keinginan tertinggi saya, prioritas saya adalah mengenal Dia. Kata mengenal (Ing: know, Yun:Ginosko, Ibr: yada) berarti relasi yang intim ibarat relasi suami istri yang tidak terpisahkan. Inilah rahasia keberhasilan Paulus dalam perjalanan misinya. Mengenal dan mengasihi Tuhan lebih baik tiap-tiap hari. Paulus adalah seorang yang sangat sibuk, tetapi dia tidak lupa prioritas utama, God is number one.

Prioritas tertinggi Paulus dihubungkan dengan tiga hal yaitu kebangkitan, penderitaan dan kematian Kristus.

- Kebangkitan dihubungkan dengan kuasa. Kebangkitan Yesus mengalahkan maut (1 Kor.15:56-57). Kebangkitan Yesus memberikan jaminan kemenangan, kepastian keselamatan dan pengharapan baru bagi orang percaya. Tanpa kebangkitan Kristus sia-sialah kepercayaan kita sebagai orang Kristen.

- Penderitaan dihubungkan dengan persekutuan. Penderitaan bukan pilihan, mau/tidak mau. Akan tetapi ketika kita dipanggil menjadi saksi-Nya, kita memang harus siap menerima segala konsekuensi akibat persekutuan kita dengan Tuhan. Kita seharusnya berdoa seperti Yesus, biarlah kehendak-Mu yang jadi.

- Kematian dihubungkan dengan kata serupa. Di dalam Fil.2:8 – Yesus merendahkan diri, taat sampai mati di salib. Yesus menghambakan DiriNya dan taat sampai mati. Paulus mau serupa dengan Yesus yang taat sampai mati. Ketaatan tidak bergantung pada waktu, tempat dan kondisi (Fil.2:12-13). Allah mengerjakan kemauan dan kemampuan untuk melakukan kehendak Tuhan. Kita ada untuk mensukseskan tujuan (baca; visi & misi) Tuhan.

2. Memiliki goal/tujuan yang pasti dan jelas

Dalam Fil.3:14 dinyatakan bahwa Paulus berlari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi. Tujuan yang jelas memberikan kita semangat dan pengharapan. Berjalan tanpa tujuan, menembak tanpa arah adalah tindakan yang sangat melelahkan. Dalam Yesus kita mendapatkan kepastian, kita diselamatkan oleh karena anugrahNya dan kita dibimbing untuk berjalan mengikut Dia. Tujuan hidup kita adalah menyenangkan dan memuliakan Tuhan. Seluruh hidup kita harus menjadi alat kemuliaan bagi Tuhan.

3. Sikap pantang menyerah

Sikap pantang menyerah adalah sikap Paulus. Dia terus mengejar, tidak pernah merasa sudah cukup. Tidak pernah berhenti, sampai mencapai garis finish. Paulus tidak pernah merasa bahwa dia sudah sempurna, atau sudah sukses karena berhasil membuka pos pelayanan diberbagai tempat. Dia tidak bangga dengan karunia rohani yang dimiliki. Tetapi tetap rendah hati sambil terus berbuat bagi Tuhan. Paulus memiliki prinsip bahwa mahkota tidak mungkin didapat kalau tidak melewati perjuangan bahkan penderitaan. Sikap pantang menyerah menimbulkan semangat juang (fighting spirit) untuk mencapai keberhasilan. Salah satu spirit zaman postmodern ini adalah spirit instant. Mau cepat dapat hasil padahal belum musimnya atau mau sukses tanpa harus berjerih payah, dan dilain pihak ada orang yang bersifat pragmatis, yang penting tujuan tercapai, tidak peduli apapun caranya. Lalu ada yang banyak bicara sedikit kerja, atau kerja banyak tetapi korupsi juga banyak. Tentu kita berbeda, tidak mengikuti spirit yang salah. Marilah kita bekerja atau melayani dengan jujur dan semangat, jangan sampai patah semangat karena itu akan mengeringkan tulang, kata penulis Amsal. (bnd. Spirit SETIA: be open, be honest, be loving).

Sekarang kembali pada pertanyaan tema, Quo Vadis SETIA? Apakah ini pertanyaan pengharapan atau keputusasaan? Pertanyaan akademis atau praktis? Teologis atau humanis? Tidak perlu dipersoalkan, yang pasti sebagai anak Tuhan, bagi kita selalu ada harapan. Harapan SETIA mendapatkan kampus yang baru masih dan tetap ada. Harapan adanya pemulihan (bersifat holistik) seluruh civitas Akademika SETIA pasti terjadi, jika semua merendahkan hati dan berjalan mencapai visi/misinya Tuhan. Paulus mengajak kita, supaya kita berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus. Seruan pahlawan, maju terus pantang mundur, merdeka atau mati. Dan seorang Pendeta (alm. AT) pernah berkata dibalik penderitaan ada kemuliaan dan tidak ada mahkota tanpa salib atau penderitaan (No Cross No Crown)! Tuhan Yesus menyertai kita.

Pdt. Eduarto Andi Silalahi

Tidak ada komentar:

Perjalanan Orang Percaya

EFESUS 5 : 1-18 Hidup adalah sebuah perjalanan. Biasanya ibu-ibu senang kalau sudah ngomong tentang jalan-jalan. Pertanyaannya, d...